Manajer HRD memegang peran krusial dalam menjaga kualitas dan produktivitas sumber daya manusia di perusahaan.
Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit manajer HRD yang tanpa sadar melakukan kesalahan strategis yang berdampak besar terhadap kinerja tim maupun keberlangsungan organisasi. Kesalahan-kesalahan ini bisa terjadi karena tekanan kerja, keterbatasan data, atau minimnya pembaruan wawasan.
Berikut ini lima kesalahan umum yang sering dilakukan manajer HRD dalam mengelola SDM perusahaan, lengkap dengan contoh dan dampaknya.
Terlalu fokus pada administrasi, melupakan strategi
Banyak manajer HRD terlalu larut dalam pekerjaan administratif seperti penggajian, absensi, dan pengurusan cuti. Memang, ini adalah bagian dari tanggung jawab HR, namun ketika terlalu fokus pada hal-hal teknis, fungsi strategis HR menjadi terabaikan.
Manajer HR seharusnya terlibat aktif dalam merancang strategi pengembangan SDM, talent mapping, perencanaan suksesi, dan membangun budaya kerja. Tanpa peran strategis ini, perusahaan hanya akan “berjalan di tempat” dan kesulitan menghadapi perubahan pasar dan kebutuhan organisasi.
Tidak memahami bisnis perusahaan secara menyeluruh
Kesalahan besar berikutnya adalah ketika manajer HRD tidak memahami core business atau arah bisnis perusahaan. Akibatnya, kebijakan SDM menjadi tidak relevan, bahkan bertentangan dengan kebutuhan divisi lain.
Misalnya, sebuah perusahaan startup teknologi membutuhkan talenta kreatif dan cepat belajar. Namun, jika HR masih menggunakan sistem rekrutmen konvensional yang lambat dan birokratis, maka perusahaan akan kesulitan memperoleh SDM yang sesuai. HR yang tidak “nyambung” dengan bisnis juga tidak mampu mendukung pertumbuhan jangka panjang perusahaan.
Mengabaikan data dalam pengambilan keputusan
Di era digital, pengambilan keputusan berbasis data (data-driven HR) bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Sayangnya, masih banyak manajer HRD yang mengandalkan intuisi atau pengalaman semata tanpa mengacu pada data objektif.
Contohnya, manajer memutuskan promosi karena “sudah lama bekerja” tanpa mengevaluasi performa nyata atau kontribusi strategis karyawan. Atau dalam pelatihan, program yang diadakan tidak berdasarkan skill gap analysis, melainkan hanya karena “program tahunan.” Hasilnya? Investasi SDM jadi tidak efektif, bahkan merugikan.
Kurang membangun komunikasi dua arah dengan karyawan
Manajer HRD seringkali membuat kebijakan tanpa cukup mendengar suara karyawan. Komunikasi lebih sering satu arah: dari manajemen ke bawah, bukan sebaliknya. Ini bisa menimbulkan kesan bahwa HR tidak berpihak pada karyawan, melainkan hanya alat eksekusi manajemen.
Padahal, HR idealnya menjadi jembatan antara kepentingan manajemen dan kesejahteraan karyawan. Kurangnya komunikasi dua arah dapat menciptakan budaya kerja yang kaku, menurunkan motivasi, dan akhirnya berdampak pada produktivitas dan retensi karyawan.
Tidak serius menangani retensi dan pengembangan karyawan
Kesalahan lain yang sering dilakukan adalah menganggap turnover sebagai hal wajar, tanpa upaya mendalam untuk mencegahnya. Padahal, kehilangan karyawan berpotensi tinggi bisa sangat mahal: dari biaya rekrutmen ulang, pelatihan, hingga penurunan moral tim.
Manajer HRD yang tidak memiliki strategi pengembangan karier dan retensi akan kesulitan mempertahankan talenta terbaik. Mereka lupa bahwa karyawan juga ingin tumbuh, belajar, dan dihargai kontribusinya. Tanpa arah karier yang jelas dan feedback yang membangun, karyawan akan mencari tempat lain yang lebih menghargai mereka.
Penutup
Mengelola SDM bukan sekadar urusan gaji dan administrasi, melainkan soal membentuk sistem dan budaya yang membuat setiap orang berkembang dan berkontribusi optimal. Manajer HRD yang ingin bertransformasi harus menyadari kesalahan-kesalahan di atas dan berani melakukan perubahan. Dengan pendekatan yang lebih strategis, berbasis data, dan humanis, HR bisa menjadi motor penggerak pertumbuhan perusahaan — bukan sekadar fungsi pendukung.
