Sebuah perusahaan tidak akan bisa maju tanpa para pekerjanya yang berkualitas. Untuk mendapatkan pekerja yang berkualitas, banyak cara yang bisa dilakukan.
Misalnya saja saat masa perekrutan, HRD (Human Research and Development) harus bisa menyeleksi orang-orang yang memang pantas bekerja di perusahaan tersebut saja.
Tanpa adanya seleksi yang tepat, maka yang terjadi selanjutnya adalah harapan yang dibebankan pada para pekerja berpotensi besar tidak bisa terpenuhi sehingga perusahaan akan merugi.
Seyogyanya proses untuk mendapatkan pekerja yang berkualitas tidak berhenti sampai pada masa perekrutan saja. Untuk menjaga dan meningkatkan kualitas para pekerjanya, ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh sebuah perusahaan.
Usaha-usaha tersebut tentunya akan menguntungkan kedua belah pihak, baik pekerja maupun perusahaan. Usaha-usaha yang bisa dilakukan antara lain memenuhi tanggung jawab perusahaan dengan memberikan upah yang selayaknya.
Dalam dunia kerja, selanjutnya kita mengenal yang disebut dengan upah minimum atau upah bulanan minimum yang terdiri dari upah pokok dan sudah termasuk tunjangan tetap. Terdapat beberapa jenis upah minimum, salah satunya adalah UMK atau Upah Minimum Kabupaten/Kota.
Keberadaan UMK sangat penting dipenuhi oleh perusahaan karena akan berpengaruh sangat signifikan terhadap kualitas kerja para pekerja. Tanpa gaji yang setidaknya menyentuh UMK pada masa awal karir mereka, jangan mengharapkan para pekerja mau berdedikasi penuh terhadap perusahaan.
Seringkali UMK suatu wilayah berbeda dengan UMK di tempat yang lainnya. Hal ini tidak mengherankan sebab penentuan UMK didasarkan pada berbagai faktor yang nilainya sangat kondisional untuk setiap daerah. UMK tidak pernah lepas dari KHL atau Kebutuhan Hidup Layak.
Perbedaan KHL per wilayah seperti antara Kota Jogja dengan Bekasi tentu saja sangat berbeda sehingga menghasilkan penetapan nilai upah minimum kabupaten/kota yang berbeda pula.
Masalah perbedaan upah minimum kota/kabupaten ini kadang menyebabkan banyak pertentangan hingga kecemburuan antar buruh pada satu wilayah dengan buruh pada wilayah yang lainnya.
Umumnya kecemburuan antar buruh seperti ini hadir saat wilayah tersebut relatif dekat dan memiliki kondisi yang dianggap sama oleh masyarakat awam. Tidak jarang hal ini kemudian memicu demo para buruh yang sifatnya anarkis.
Dalam hal ini, tentu perusahaan dimana para pekerja tersebut bekerja akan mengalami kerugian karena aktivitas kerja tidak berjalan seperti biasanya.
Salah satu kasus yang menyeruak akibat kecemburuan ini adalah kasus setelah ditetapkannya upah minimum kota Bekasi. Upah minimum yang ditetapkan di Bekasi tersebut mencapai angka hingga hampir 3 juta per bulan atau tepatnya Rp 2.954.031 per bulan. Angka ini tentu sangat besar bila dibandingkan dengan nilai UMK lainnya di wilayah Indonesia termasuk di DKI Jakarta. Di ibukota negara tersebut, angka UMK yang ditetapkan adalah Rp2,44 juta bulan.
Meskipun banyak mendapatkan tanda tanya, akan tetapi tentu ada alasan tersendiri mengapa nilai UMK di Bekasi ditetapkan sedemikian besar bahkan melebihi UMK di DKI Jakarta.
Menurut Sayekti Rubiah, Anggota Dewan Pengupahan Kota Bekasi, penetapan UMK di Bekasi didasarkan pada alasan yang masuk akal, yakni KHL di Bekasi yang memang relatif tinggi dibanding wilayah lainnya di Indonesia.
Menurut hasil survey yang dilakukan di tiga pasar tradisional di Bekasi, yakni di Pasar Kranji, Pasar Baru, dan Pasar Bantargebang didapatkan angka KHL yang mencapai sekitar 2,5 juta rupiah.
Angka ini jelas lebih tinggi dibanding angka KHL sebelumnya yang hanya 1,9 juta rupiah. Hasil survey ini selanjutnya menjadi salah satu dasar UMK di Bekasi. Karena UMK idealnya lebih tinggi dari KHL, maka yang angka UMK yang didapat selanjutnya hampir mencapai 3 juta rupiah.
Selain angka KHL, terdapat beberapa faktor lain yang juga dijadikan sebagai pertimbangan penentuan UMK. Menurut Dewan Pengupahan Bekasi, salah satu pertimbangan atas diputuskannya UMK Bekasi tersebut adalah permintaan dari para buruh. Diberitakan bahwa angka UMK yang diminta para buruh adalah sebesar 3,5 juta rupiah. Oleh Dewan Pengupahan, selanjutnya diambil angka tengah di antara KHL dengan permintaan buruh tersebut sehingga didapatkan angka UMK 2,9 juta rupiah.
Untuk rinciannya sendiri, ditetapkan standar untuk upah minimum kota/kabupaten kelompok 1 sebesar Rp 3.397.135, sedangkan untuk kelompok 2 sebesar Rp 3.249.434. Angka yang akan didapatkan setiap bulan tersebut diharapkan dapat memuaskan pihak buruh maupun pengusaha karena telah diputuskan berdasarkan pertimbangan yang rasional dan merupakan jalan tengah.
Adapun, angka UMK Bekasi yang lebih tinggi dari DKI Jakarta dijelaskan karena alasan-alasan tersendiri. Misalnya, Bekasi memiliki lebih banyak perusahaan dan kegiatan industri daripada DKI Jakarta.
Selain itu, jumlah pekerja di tempat ini juga lebih banyak daripada di Jakarta sehingga tuntutan yang dilontarkan pun juga jauh lebih terdengar.
Tidak heran bila kota ini menjadi acuan standar penetapan upah pegawai di Indonesia.
Meskipun demikian, tingginya UMK Bekasi ini bukannya tanpa penentangan dari kalangan warga Bekasi sendiri.
Tidak sedikit pengusaha Bekasi yang merupakan warga Bekasi dan yang bukan keberatan dengan keputusan ini. Beberapa perusahaan bahkan hengkang karena merasa tuntutan upah buruh yang begitu besar di wilayah ini dibanding wilayah lain baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Banyak kalangan pengusaha yang telah mengajukan protes atas permasalahan ini. Dari pihak pengusaha, upah yang terlalu tinggi memang berpotensi merugikan perusahaan. Apalagi, bila di daerah lain terdapat tenaga kerja dengan upah yang lebih rendah. Tentunya tingginya upah di Bekasi ini malah bisa memicu adanya dampak negatif yang dirasakan kalangan buruh sebagai sebuah komunitas.
Baca juga Standar Gaji Karyawan Indonesia